Senin, 10 Maret 2008

MATERI PENGLING II

ETIKA LINGKUNGAN

Etika lingkungan adalah berbagai prinsip moral lingkungan. Etika lingkungan merupakan petunjuk atau arah perilaku praktis manusia dalam mengusahakan terwujudnya moral lingkungan. Dengan etika lingkungan kita tidak saja mengimbangi hak dengan kewajiban terhadap lingkungan, tetapi etika lingkungan juga membatasi tingkah laku dan upaya untuk mengendalikan berbagai kegiatan agar tetap berada dalam batas daya lenting lingkungan hidup kita.

Menurut Mahmudin (1988), etika lingkungan yaitu kebijaksanaan moral manusia untuk memelihara keseimbangan lingkungan. Dalam pelajaran biologi, etika lingkungan antara lain berisi: sumberdaya alam untuk semua makhluk hidup, manusia adalah bagian dari lingkungan, undang-undang lingkungan hidup.
Dengan etika lingkungan kita perlu meningkatkan solidaritas sosial di antara sesama manusia, serta solidaritas alam yaitu dengan lingkungan hidup kita. Kita juga perlu mengusahakan kecenderungan baru untuk mengurangi berbagai tuntutan dan beban pada lingkungan. Dengan demikian mungkin kita akan terpaksa untuk hidup secara lebih sederhana, tetapi dalam lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dengan kecenderungan dan kegairahan kita untuk mencoba mengenal, mengerti, dan memahami lingkungan hidup kita dengan segala seluk-beluknya serta upaya untuk memiliki kemampuan dan keterampilan yang makin baik dalam mengelola lingkungan hidup, kita mempunyai harapan dan peluang yang cukup besar bahwa masalah lingkungan hidup yang makin rawan ini dapat kita atasi dengan sebaik-baiknya.
Etika adalah studi tentang standar tingkah laku bagi komunitas atau profesi tertentu ( Webster’s new world dictionary of the american language. Etika dapat diartiakan pula sebagai adanya kesesuaian dengan aturan-aturan yang ideal dan rinci berkaitan dengan prinsip-prinsip moral, termasuk didalamnya aturan-aturan yang diberlakukan bagi sesuatu profesi (Cheppy Haricahyono, 1995).
Moral itu sendiri dapat diartikan “adanya kesesuaian dengan ukuran baik buruknya sesuatu tingkah laku atau karakter yang telah diterima masyarakat. Moral pada hakekatnya menunjuk kepada ukuran-ukuran yang telah diterima oleh suatu komunitas, sementara etika umunya lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam aturan-aturan yang diberlakukan bagi suatu profesi.

(Cheppy Haricahyono, 1995, IKIP SEMARANG PRESS).





ETIKA

Dasar perbuatan dan asas perbuatan yang diperoleh dari proses interaksi antara manusia dengan lingkungan . Dasar perilaku dalam lingkungan.

Tertulis
Etika :
Tidak Tertulis


Etika Lingkungan

Landasan Kebijaksanaan dan Strategi Pembnagunan
Dasar Perilaku Manusia Dalam LingkunganKearifan + kebijaksanaan + Strategi untuk menentukan pilihan perbuatan manusia agar terciptanya hubungan timbal balik yang harmonis antara manusia dengan lingkungan.






Kamis, 7 Juni 2007

OPINI
Revitalisasi Etika dan Politik Lingkungan
(Hari Lingkungan Hidup se-Dunia, 5 Juni)
Achyani Subadi
Staf Pengajar Universitas Muhammadiyah Metro

Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia, ditambah rendahnya kesadaran dan kedisiplinan penduduknya, Indonesia terus mengalami kerusakan lingkungan hidup yang semakin masif. Bahkan, baru-baru ini Indonesia tercatat dalam Guinness Book of Record sebagai negara tercepat kerusakan hutannya.
Sebelumnya, Indonesia mendapat predikat sebagai negara tercemar di Asia. Wajar, bila bencana demi bencana lingkungan akan terus terjadi, dari yang berskala kecil atau diangap kecil karena ketidaktahuan kita akan efek jangka panjangnya, sampai bencana yang menimbulkan puluhan bahkan ratusan korban jiwa.
Di Provinsi Lampung, misalnya, tanda-tanda adanya ketidakseimbangan ekosistem pun semakin nyata seperti terjadi banjir dan longsor pada setiap musim hujan dan kekeringan pada setiap musim kemarau; walau hanya hujan sebentar sudah menimbulkan banjir atau kemarau belum mencapai hitungan bulan, air tanah sudah mengering.
Bencana-bencana tersebut sudah menjadi rutinitas. Belum lagi munculnya berbagai penyakit baru di sejumlah tempat, seperti flu burung dan cikungunya, dan penyakit lama yang masih terus mewabah seperti demam berdarah dengue (DBD), malaria, dan muntaber, seolah menguatkan bahwa kita hidup di lingkungan yang tidak memiliki daya dukung (carrying capacity) yang memadai lagi.
Pandangan Sonny Keraf barangkali dapat menerangkan berbagai fenomena di atas secara mendasar. Menurutnya, bencana demi bencana lingkungan yang kita alami dewasa ini sesungguhnya bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem.
Pada gilirannya, kekeliruan cara pandang ini melahirkan perilaku keliru terhadap alam. Manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya. Dan, inilah awal dari semua bencana lingkungan hidup yang kita alami sekarang ini.
Berarti, persoalan lingkungan hidup saat ini sejatinya adalah persoalan mentalitas manusia. Dalam keadaan demikian perlu pendekatan etika dan moral untuk dikedepankan dan sangat tidak memadai jika diselesaikan menggunakan pendekatan teknis parsial semata.
Pembenahannya harus pula menyangkut pembenahan cara pandang, moralitas, dan perilaku manusia dalam berinteraksi dengan alam maupun dengan manusia lain. Jalur pendidikan dan hukum (penegakan hukum lingkungan) adalah pilihan paling logis sebagai jawabannya.
Meski demikian, jalur pendidikan formal ditempuh untuk rekayasa sosial (social enginering) generasi muda kita yang memiliki jangkauan ke depan, sedangkan sangsi hukum bersifat kuratif. Oleh karena itu, merevitalisasi etika dan politik lingkungan merupakan pilihan alternatif yang bisa digarap dengan segera tanpa harus melalui jalur formal.
Etika berfungsi sebagai pedoman bagaimana manusia seharusnya hidup dan bertindak sebagai orang yang baik dalam arti bisa menempatkan perannya secara tepat di alam semesta ini. Etika yang mengharmonisasi interaksi antara manusia dan lingkungan seperti yang dikenal sebagai tradisi yang ramah lingkungan sudah secara baik dipraktekan oleh nenek moyang kita.
Pengetahuan ekologi yang mendalam dan turun menurun membentuk aturan-aturan adat untuk pelestarian lingkungan hidup seperti tercermin pada pengertian tabu atau sakral sebenarnya sudah ada sejak dulu kala. Pengetahuan dan perilaku penduduk pedalaman yang ramah lingkungan tersebut dikenal sebagai kearifan tradisional atau lokal. Termasuk di dalamnya pelbagai pengetahuan asli (indegenous sciences) yang dimiliki penduduk pedalaman, misalnya, pengetahuan tentang bermacam-macam obat yang diambil dari alam sekitar.
Masih banyak penduduk pedalaman yang mempertahankan kearifan tradisional tersebut hingga sekarang. Namun, tidak sedikit pula yang tergiur keuntungan sesaat sehingga kearifan lokal yang meraka miliki secara perlahan mulai luntur dikalahkan oleh kerakusan globalisasi.
Penduduk pedalaman yang dulu dengan teguh menjaga kelestarian hutannya, sekarang sebagian dari mereka malah terlibat dalam mengeksploitasi hutannya mengikuti aturan-aturan para cukong kayu yang mengejar keuntungan sesaat. Hal yang sama terjadi di pantai, para nelayan yang dulu berpantang merusak hutan mangrove dan terumbu karang, sekarang sebagian dari mereka tidak lagi mempertahankan tradisinya itu karena lagi-lagi demi kepentingan ekonomi jangka pendek.
Seharusnya manusia menyadari, atas dasar apa manusia mengklaim dirinya lebih penting daripada makhluk lainnya di alam? Tanpa air dan tanah, tanpa makhluk hidup lain, manusia tidak dapat bertahan hidup karena manusia hanya satu entitas yang bergantung pada makhluk lain di alam semesta ini. Bahkan, boleh dikata manusia merupakan titik lemah dalam rantai makanan di alam.
Kenyataan ini dengan mudah dapat kita lihat dengan mengandaikan di bumi ini tidak ada tumbuhan atau hewan. Dari manakah kita mendapatkan oksigen dan makanan? Sebaliknya, seandainya tidak ada manusia, makhluk hidup lain tetap dapat melangsungkan kehidupannya, seperti terlihat dari sejarah bumi sebelum ada manusia.
Sudah saatnya dan sepantasnya kita semua tidak terus menerus mengandalkan penduduk pedalaman untuk menyelamatkan lingkungan hidup sekitar. Kalau mereka bisa mengembangkan kearifan dalam berinteraksi dengan lingkungannya, mengapa kita yang dibekali pendidikan, teknologi, dan ekonomi yang (mungkin) lebih baik dari mereka tidak bisa mengembangkan gerakan kearifan merawat lingkungan hidup secara lebih baik.
Dalam kondisi demikian, sudah saatnya revitalisasi etika lingkungan menjadi agenda bersama dan utama sebagai upaya mengatasi percepatan kerusakan lingkungan hidup, khususnya di Indonesia. Suatu etika yang tidak hanya berlaku untuk berinteraksi dengan sesama manusia, tetapi juga interaksi manusia dengan seluruh kehidupan di bumi. Suatu etika yang memandang alam sebagai bernilai pada dirinya sendiri dan pantas diperlakukan secara bermoral.
Dengan etika ini, manusia akan memerankan dirinya sebagai seorang khalifah di muka bumi untuk menjaga dan melindungi alam semesta dan segala isinya. Dan, bukan seorang eksploitator rakus yang menganggap alam dan seluruh isinya sekedar bernilai instrumental-ekonomis bagi kepentingan manusia.
Dengan membangun gerakan bersama seperti itu, budaya ramah lingkungan bisa dimulai, dipertahankan, diajarkan dan diwariskan dari satu orang ke orang lain, dari satu kelompok ke kelompok lain, dari satu generasi ke generasi lain
Faktor gaya hidup (life style) manusia harus menjadi agenda utama perubahan karena telah terbukti sebagai penyumbang terbesar terhadap kerusakan lingkungan hidup saat ini. Seperti efisiensi bahan-bahan yang berasal atau diekstrasksi dari lingkungan. Kerelaan untuk berkorban (willingness to sacrifice) dengan cara mengurangi kenikmatan dari bahan atau makanan yang kita konsumsi secara signifikan akan membantu menyelamatkan lingkungan.
Sebagai contoh, jika singkong dimakan secara direbus saja sudah nikmat, mengapa harus digoreng atau dibikin kue yang menggunakan aneka warna dan pewangi yang diekstrak dari alam. Bila satu orang yang melakukan itu tentu saja tidak akan ada dampak apa-apa terhadap lingkungan. Tapi, kalau yang berbuat seperti itu ada ribuan, bahkan jutaan orang, tentu akan sangat banyak bahan yang diekstrasi dari lingkungan sekitar.
Begitu juga penggunaan bungkus berbahan organik harus menjadi keinginan dan kemauan kita. Penggunaan kantong plastik di pasar-pasar, toko, supermarket perlu segera diganti dengan daun atau kertas. Berdasarkan survei, kantung plastik adalah bahan pencemar terbesar di sungai dan tanah. Bagi orang yang berkecukupan dan pejabat, harus rela mengurangi penggunaan AC di ruangan dan mobilnya.
Bila penggunaannya tidak bisa dihindarkan, gunakan suhu AC yang tidak terlalu rendah karena semakin rendah stelen suhu AC maka akan semakin banyak panas yang dibuang ke lingkungan dan berkontribusi besar tehadap pemanasan global yang saat ini semakin nyata kita rasakan dampaknya. Termasuk asesoris pakaian, mobil, dan rumah yang berasal dari bahan alam untuk tujuan eksklusifitas penampilan hendaknya dihindari.
Etika memang diperlukan manusia. Manusia tanpa etika bukanlah manusia. Namun, dari segi praktis, etika sering kurang kuat sebagai driving factor bagi manusia untuk melestarikan lingkungan hidup. Dalam kondisi demikian, etika harus disertai pertimbangan yang langsung mengenai kepentingan praktis manusia. Misalnya, kerusakan hutan akan menyebabkan banjir, lubang ozon akan menyebabkan jumlah orang buta bertambah karena katarak dan kanker kulit, pemanasan global dapat menenggelamkan desa dan kota yang dekat dengan pantai, timbal yang berasal dari buangan kendaraan bermotor akan menurunkan IQ dan menyebabkan impotensi. Semuanya itu membuat manusia menderita.
Agenda seting penyelamatan lingkungan hidup perlu diperlebar jangkauannya. Gerakan penyelamatan lingkungan hidup perlu mentransformasikan dirinya menjadi gerakan sosial dan politik yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, seperti buruh, petani, nelayan, guru, kaum profesional, pemuda, remaja, anak-anak, kaum perempuan, dan politisi.
Sensitivitas para politisi di negeri ini terhadap isu-isu lingkungan pun perlu ditingkatkan dan sudah saatnya mereka menempatkan kepentingan lingkungan hidup pada posisi tawar tinggi. Karena, di dalam lingkungan hidup terdapat hak-hak dasar (basic rights) manusia dan prinsip keadilan lingkungan (environmental justice) serta akses yang setara terhadap sumber-sumber kehidupan.
Pada kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, misalnya, rakyat yang terkena dampak kegiatan proyek seharusnya tidak mengalami nasib yang mengenaskan seperti sekarang bila hak-hak dasar penduduk yang telah tercerabut sedemikian rupa mendapatkan kompensasi yang sepadan (environmental justice) setelah memperhitungkan kerugian dari segala aspek dan tidak dikalahkan oleh pertimbangan profit perusahaan. Hal yang sama berlaku untuk makhluk hidup lain meskipun berbeda dalam implementasinya.
Bila saja para calon pemimpin, baik di level nasional maupun daerah, memiliki tingkat melek lingkungan (environmental literacy) yang memadai maka kita layak berharap bahwa mereka akan berani mengangkat isu-isu lingkungan sebagai materi kampanyenya pada pemilihan capres atau pilkada.
Untuk pilkada di Provinsi Lampung, misalnya, sudahkah kita mendengar calon gubernur, bupati, atau wali kota yang berani memasukkan isu-isu lingkungan sebagai bahan jualan programnya. Padahal, banyak isu lingkungan dan sebagian di antaranya merupakan isu strategis di Provinsi Lampung yang layak mendapatkan perhatian para pemimpin dan calon pemimpin.
Sekadar contoh, di Lampung Timur ada masalah abrasi pantai yang semakin jauh ke daratan dan pengamanan TNWK dari pembalakan liar; di Metro ada masalah penataan dan efisiensi lahan yang terbatas serta pengamanan keberlanjutan ketersediaan sumber air untuk dikonsumsi maupun irigasi untuk jangka panjang; di Bandarlampung ada masalah pencemaran Teluk Lampung dan intrusi air laut ke darat mengingat permukaan laut yang terus naik, serta masalah kepadatan penduduk.
Kita juga berharap banyak kepada anggota legislatif agar lebih peduli dengan isu-isu lingkungan. Jika bisa, jadilah politisi hijau. Alangkah idealnya jika semua fraksi dan partai memiliki visi dan program lingkungan hidup yang kontekstual tentang daerahnya dan semua anggota pengurus melek masalah lingkungan hidup sehingga mampu mengangkat politik lingkungan secara khusus dalam forum resmi maupun tidak resmi.

Melalui itu semua, semoga terbangun kesadaran kolektif bahwa kita melestarikan lingkungan karena kita yang membutuhkan jasa lingkungan dan bukan sebaliknya.








Tidak ada komentar: