Kamis, 23 Agustus 2007

Tulisanku dari Lampung Post

PENDIDIKAN TANPA BUDAYA PENDIDIKAN

Achyani Subadi


Pendidikan mengemban peran ganda, disatu sisi berperan membentuk budaya baru, sedangkan di sisi lain berperan melestarikan budaya lama. Pada dasarnya pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan. Diawali dengan mengenalkan sesuatu kepada anak didik, kemudian terjadi pembiasaan, dan akhirnya menjadi budaya. Karenanya, program pendidikan meskipun dikemas dalam berbagai bentuk kegiatan namun harus tetap melewati proses secara tertib dalam mencapai tujuan. Program pendidikan yang peduli pada proses yang benar berpotensi menjadi jangkar utama dalam membangun budaya pendidikan.
Sebaliknya, bila proses pendidikan yang dilalui seseorang salah dan culas serta hanya mementingkan tujuan, maka ia tidak dapat menyerap budaya pendidikan dari program pendidikan yang diikuti. Pendidikan yang seperti itu tidak akan pernah berefek emansipatoris dan pembebasan tetapi cenderung menghasilkan lulusan yang bersifat adaptis terhadap penyimpangan dan menambah panjang daftar pengikut budaya terabas yang telah membudaya di negeri ini.
Budaya pendidikan dapat dimaknai sebagai pola pikir, norma, sikap hidup, dan kebiasaan yang baik yang terinternalisasi pada diri peserta didik setelah menempuh program pendidikan tertentu. Bertolak dari makna tersebut, kita paham, untuk membentuk budaya pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari proses pendidikan. Tugas lembaga pendidikan dalam hal ini adalah sebagai fasilitator dan katalisator proses transmisi budaya kepada anak didiknya melalui proses-proses akademik yang dijalaninya secara benar.
Budaya pendidikan, bukan saja dapat mendukung kemampuan seseorang dari sisi prestasi akademk, tetapi juga dapat menjadi pengawal moral dalam kehidupan seseorang. Nurdin Khalid, ketua PSSI, ketika melemparkan gagasannya yang sangat kontroversial berkaitan dengan naturalisasi beberapa pemain asing untuk menjadi starting eleven-nya PSSI, mengungkapkan, mengapa pemain-pemain sepakbola Indonesia sulit berkembang secara optimal? Karena, mereka bermain sepakbola tanpa budaya sepakbola. Ketika sama-sama masih yunior antara Kurniawan Dwiyulianto dan Dell Pierro secara teknik permainan sejajar, tetapi setelah senior perbedaan keduanya bak bumi dan langit, kata beliau. Terlepas dari kontroversi isu naturalisasi, alasannya yang disampaikan oleh Nurdin Khalid banyak benarnya. Tanpa budaya, yang pada gilirannya akan membentuk etos kerja seseorang, maka kepandaian dan keterampilan setinggi apapun yang dimiliki seseorang akan stagnant dan tidak on the right track. Dalam dunia pendidikan pun begitu, kecerdasan yang dimiliki seseorang menjadi tidak banyak guna..
Hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukan bahwa budaya pendidikan yang sehat berkolerasi tinggi dengan prestasi, motivasi, sikap dan perilaku positif siswa. Dengan kata lain, budaya pendidikan yang sehat sangat mendukung lahirnya manusia-manusia terdidik (well educated) yang sangat diharapkan dapat memberikan pencerahan bagi orang lain.. Yang menjadi pertanyaan, sudahkan lembaga pendidikan kita memiliki atau mengembangkan budaya pendidikan yang sehat untuk anak didiknya? Bila melihat kinerja dari output lembaga pendidikan kita, kecenderungannya belum. Hal ini terlihat dari lulusan yang dihasilkan belum mencerminkan sebagai manusia-manusia terdidik.
Sebagai bukti, apakah kita bisa membedakan perilaku orang yang berpendidikan formal dengan yang tidak? Coba kita perhatikan: Siapa yang paling banyak melanggar peraturan lalu lintas? Siapa yang paling banyak membuang sampah secara sembarangan? Siapa yang berdemonstrasi dengan cara merobohkan pohon dan merusak pot tanaman padahal isu yang diusung demonstran tidak ada relevansinya sama sekali dengan keberadaannya? Atau siapa yang paling banyak melakukan korupsi? Jawabannya, justru orang yang berpendidikan menengah dan tinggi. Jadi, dimana artikulasi budaya pendidikan pada diri orang berpendidikan jika memang ada? Perilaku yang kita saksikan dari orang-orang berpendidikan di negeri ini hanyalah ekspresi dari sifat dasar mereka masing-masing yang dibawa dari rumah, bukan karena intervensi pendidikan yang diperolehnya.
Tak kurang dari seorang rektor sebuah PTN bergensi di negeri ini pun pernah mengeluh sehubungan banyak alumninya yang menempati posisi-posisi penting di republik ini tapi tidak bisa berbuat banyak melawan arus KKN. Bahkan, beberapa diantaranya terlibat praktik KKN dan tengah menjadi tersangka. Sungguh tidak banyak berguna kecemerlangan otak yang dimilikinya, kata sang rektor dengan nada kecewa.
Menurut penulis, saat ini ada beberapa kendala dalam membangun budaya pendidikan di sekolah yang pada gilirannya menjadi hambatan bagi pembentukan manusia-manusia terdidik di negeri ini. Pertama, sistem pendidikan kita terkooptasi dan cenderung tunduk pada kepentingan-kepentingan praktis-pragmatis di luar sekolah sehingga lulusannya menjadi begitu adaptis dengan budaya di luar sekolah yang penuh penyimpangan. Pendidikan di sekolah pun lantas mengalami distorsi dan disorientasi mengingat kepentingan di luar sekolah itu seringkali bersifat temporer.
Kedua, sistem pembelajaran yang banyak dikembangkan saat ini sangat kering dari makna kehidupan (meaningless) sehingga tidak dapat menyentuh unsur afektif siswa. Perasaan siswa dibiarkan tidak berkembang dan kehilangan orientasi, menjauh dari permasalahan lingkungan dan masyarakat sekitar sebagai sumber belajar dan sumber menumbuhkan kecerdasan emosional (EQ) siswa seperti rasa empati, simpati, toleransi, dan kejujuran. Salah satu sebabnya adalah metode pembelajaran kita lebih mementingkan bagaimana caranya agar siswa bisa menghapal dengan tuntas materi yang disajikan (learning to know). Cara pembelajaran yang menurut Ausuble tidak memberikan pengalaman yang bermakna (meaningful) karena lebih mementingkan produk daripada proses. Tiga pilar pembelajarannya lainnya yaitu learning to do, learning to live together dan learning to be yang justru berpotensi membangun watak manusia (carracter building) dianggap tidak penting (atau mungkin merepotkan guru) sehingga tidak menjadi target kurikuler.
Ketiga, berkembangnya budaya instan dalam mengelola lembaga pendidikan. Kecenderungan berpikir reduksionis dan pragmatis tengah menjangkiti para pengelola pendidikan di Indonesia, khususnya di level perguruan tinggi. Sebagai contoh, lahirnya program-program pendidikan yang lebih berorientasi kepada tujuan ketimbang proses, seperti semester pendek, ekstensi, dan kelas jauh yang tampaknya telah dilegalkan di perguruan tinggi kita. Banyak pengelola pendidikan justru terjebak, untuk tidak mengatakan sengaja menjebakan dirinya, dalam budaya instan “cepat lulus”, kata yang sekarang menjadi mantra sakti untuk dipromosikan sebagai daya tarik mahasiswa baru. Meskipun sudah dicoba ditutupi dengan pelbagai pembenaran, tampak jelas bahwa program-program di atas orientasinya lebih pada income daripada outcome. Tanpa bermaksud mengabaikan kompleksitas dalam pengembangan pendidikan, maka keberpihakan dan kepedulian para penyelenggara pendidikan akan pentingnya menanamkan budaya pendidikan kepada anak didiknya menduduki posisi sentral dalam upaya mengembangkan perilaku individu sebagai manusia terdidik (well educated). Kejujuran para penyelenggara pendidikan, adalah kata kunci keberhasilan upaya tersebut. Persoalannya, bersediakah para penyelenggara pendidikan untuk jujur, bahwa apa pun yang akan dilakukan semata-mata untuk pendidikan dan bukan atas nama pendidikan

Tidak ada komentar: