Senin, 27 Agustus 2007

Tulisanku dari Lampost 2

PENDIDIKAN YANG MEMERDEKAKAN

Seringkali tidak disadari baik oleh para pendidik, orangtua, maupun masyarakat bahwa kita sebenarnya sudah lama membiarkan terjadinya praktik-praktik pembunuhan karakter siswa di sekolah-sekolah. Semangat penyeragaman terhadap keanekaragaman potensi siswa adalah salah satu contohnya.
Adalah suatu keniscayaan bahwa setiap orang dilahirkan dengan kemampuan dan bakat yang berbeda-beda dan itu mesti kita hargai sebagai suatu kelebihan orang yang satu dari yang lain. Selama ini terlanjur berkembang anggapan yang salah kaprah bahwa bentuk kecerdasan adalah tunggal, yaitu hanya kecerdasan logika. Akibatnya, semua upaya dalam pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan tersebut yang dimiliki peserta didik. Anak yang hebat adalah mereka yang memiliki IQ yang tinggi, begitu anggapan banyak orang selama ini.
Tragisnya anggapan yang salah itu dipraktikan dan dilestarikan disekolah kita hingga saat ini. Satu contoh nyata adalah cara yang digunakan dalam sistem rangking siswa di sekolah. Predikat bintang kelas adalah seseorang yang secara akumulatif memiliki nilai paling tinggi, bisanya siswa yang jago dalam beberapa mata pelajaran tertentu yang menekankan kepada kecerdasan logis-matematis. Padahal bila dilihat nilai per mata pelajaran boleh jadi banyak siswa lain yang memiliki nilai lebih tinggi daripada sang bintang kelas pada mata pelajaran tertentu. Sebutlah ada siswa yang nilai mata pelajaran seni, bahasa, olah raga, atau keterampilan lainnya di atas sang bintang kelas, tetapi ia tidak dapat pengakuan apa-apa atas kecerdasan yang dimiliki. Akibat selanjutnya bisa ditebak, siswa yang memiliki kecerdasan diluar kecerdasan logika tidak terpacu untuk mengembangkan kecerdasan yang dimiliki.
Hal ini berimbas kepada orangtua siswa yang lantas berusaha sekuat tenaga memaksa agar anaknya fokus untuk menguasai mata pelajaran tertentu yang dianggap bergengsi dengan berbagai kegiatan bimbingan belajar meskipun anaknya tidak berminat karena merasa tidak berbakat. Dalam konteks demikian maka pantas kalau kita menganggap sekolah sebagai tempat pembunuhan karakter anak yang ditakdirkan berbeda-beda. Sungguh, telah terjadi simplifikasi terhadap fitrah manusia pada sistem persekolahan kita.
Mungkin, akan berbeda situasinya bila di sekolah diterapkan sistem raport bintang yang memberi peluang kepada semua anak yang memiki potensi untuk menjadi bintang kelas pada bidangnya masing-masing. Setiap siswa yang memiliki nilai tertinggi pada mata pelajaran tertentu di kelas atau di sekolahnya diberi tanda bintang. Jika pada suatu kelas ada dua belas mata pelajaran yang diajarkan maka dimungkinkan ada dua belas siswa yang menjadi bintang kelas. Dengan cara ini, pada konteks yang lebih luas, siswa pun tidak bingung lagi untuk menjawab pertanyaan: Siapakah yang lebih “bintang” diantara orang-orang berikut: B.J. Habibie, Ahmad Dhani, Taufik Ismail, Taufik Hidayat, atau Affandi?
Sudah saatnya kita berusaha memperluas lingkup potensi manusia melampaui batas nilai IQ. Seperti temuan terakhir dari Howard Gardner ternyata manusia memiliki sembilan kecerdasan. Para pembuat kurikulum, guru, orangtua, dan masyarakat ditantang untuk bisa mengubah paradigma lama yang menganggap bahwa anak yang pintar adalah anak yang nilai matematika atau IPA paling tinggi di kelasnya. Pendidikan kita harus bisa menyediakan ruang yang memungkinkan siswa menemukan apa yang disebut Gardner sebagai crystallizing experiences, yaitu pengalaman atau saat-saat yang dapat melejitkan potensi diri seorang manusia.
Siswa dapat menemukan momen-momen yang dapat melejitkan potensi dirinya hanya jika proses pendidikan yang dijalani berlangsung secara demokratis dan tidak membelenggu siswa. Siswa merasa merdeka selama mengikuti proses pendidikan tanpa terbebani ketakutan oleh hal-hal yang sebenarnya tidak penting dan tidak perlu untuk ditakuti karena pada hakekatnya belajar yang berhasil adalah ketika siswanya merasa bahagia. Dan ini yang harus disadari betul oleh para pendidik bahwa sudah saatnya pendidikan kita terbebas dari praktik-praktik pembelajaran yang menyiksa siswa.
Pendidikan pada hakekatnya adalah kegiatan yang memberikan pengalaman-pengalaman sebanyak mungkin terhadap siswa. Namun perlu diingat, bahwa hanya pengalaman yang bersifat faktual dan kontekstual yang menjadikan suatu proses pembelajaran bermakna bagi kehidupan siswa. Melalui penglaman-pengalaman tersebut diharapkan siswa dapat melejitkan potensi dirinya sehingga setelah lulus ia dapat menjadi manusia yang merdeka, dalam arti memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat mencukupi dirinya (self sufficience) bahkan dapat membantu orang lain.
Pendidikan yang memerdekakan anak didiknnya dari ketergantungan ekonomi dan sosial pada orang lain dimungkikan jika suatu sistem pendidikan tidak berangkat dari ruang kosong. Pendidikan harus mengakomodasi realitas dan menjadi jawaban atas realitas. Pendidikan adalah dunia perubahan terus menerus sesuai sifat dari realitas. Jadi, sekolah bukan hanya untuk menghapal teori-teori saja, tetapi untuk berteori sesuai perubahan realitas.
Sebagai sebuah proses perubahan, pendidikan harus membentuk konstruksi pemikiran anak didik yang dinamis, terbuka, dan merdeka guna mengembangkan kemampuan kreativitasnya menghadapi tantangan perubahan hidup (Asy’arie, 2004). Yang diperlukan sekarang adalah pendekatan pendidikan yang dapat melawan keyakinan naif dan yang terpenting, mampu meregangkan pikiran siswa sampai pada titik yang dapat mereka gunakan untuk menerapkan pengetahuan yang ada di situasi dan konteks yang berubah.
Kenyataannya, sistem pendidikan kita belum memerdekakan anak didiknya karena apa yang didapat dari sekolah tidak dapat membebaskan dirinya menjadi manusia mandiri secara sosial dan ekonomi. Bahkan, ada kecenderungan para penyelenggra pendidikan khususnya di perguruan tinggi lebih sibuk mengkalkulasi eksistensi lembaganya dari sisi bisnis, ketimbang meningkatkan mutu dan daya pakai lulusannya . Di sisi lain, para mahasiswa pun tidak sedikit yang terperangkap pada feodalisme baru dengan kuliah hanya mengejar gelar tanpa keilmuan aktual. Akibatnya, kian banyak pengangguran kaum intelektual, dan rakyat mulai frustasi menghadapi dunia pendidikan yang semakin elitis-feodalitis, mahal, semakin tidak terjangkau rakyat pada umumnya, dan tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kehidupan mereka. Maka, benar, pendidikan kita tidak berbeda dengan makanan kalengan: isinya sedikit tapi harganya mahal.

Tidak ada komentar: